"JAKARTA, (PR).- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi memprioritaskan tiga bidang studi untuk menghadapi era disrupsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Yakni, bidang studi bidang teknik, kesehatan serta guru dan tenaga kependidikan.
Tiga bidang studi tersebut diyakini dapat menopang kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menjalani dunia pendidikan, bisnis dan usaha berbasis TIK.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengaku sudah menyiapkan rencana induk pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi hingga 2025. Rencana induk tersebut mengacu kepada instruksi dari Menristekdikti Mohamad Nasir yang menerjemahkan keinginan Presiden Joko Widodo.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden berkali-kali meminta perguruan tinggi untuk mampu menyerap manfaat perkembangan pesat inovasi teknologi.
“Sebenarnya, Kemenristekdikti diminta menyiapkan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Dengan demikian, pada pendidikan tinggi, paling tidak jangan sampai ada program studi yang tidak relevan dengan tantangan masa depan. Tiga bidang studi itu kami susun sebagai awal karena terkait pembangunan infrastruktur. Harus cocok SDM jenis apa yang dibutuhkan dengan kebutuhan prioritas pembangunan,” ujar Ghufron di Kantor Kemenristekdikti Senayan, Jakarta, Senin, 18 Desember 2017.
Ia mencontohkan, pada bidang teknik, Indonesia masih kekurangan insinyur dibandingkan dengan negera lain di ASEAN. Kemenristekdikti meminta sejumlah kampus teknik, seperti Institut Teknologi Bandung untuk kembali membuka prodi tersebut.
Pada bidang kesehatan, Ghufron menyatakan Indonesia juga masih kekurangan jumlah dokter. Untuk jumlah guru yang memenuhi kualifikasi standar nasional, juga masih kurang.
“Saat ini, per satu juta penduduk hanya ada 278 insinyur di Indonesia. Pertumbuhannya masih sangat sedikit. Sarjana teknik yang kaitannya dengan infrastruktur ada 15 bidang ilmu. Prediksi kebutuhan lulusan sarjana teknik diperkirakan sebanyak tak kurang dari 242.000 insinyur dalam tiga tahun ke depan,” katanya.
Untuk profesi guru, pada tahun depan Indonesia akan kekurangan tidak kurang dari 51.000 guru pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan untuk profesi dokter akan sekitar 10.000 orang.
Di lain sisi, Konsulat Kedokteran Indonesia mencatat, sebanyak 2.500 sarjana kedokteran yang sebagian besar lulusan dari fakultas terakreditasi C kesulitan menjadi dokter karena kerap tidak lulus dalam mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).
“Jadi cetak biru ini penting dalam rangka menyambut Indonesia emas 2030,” ujarnya.
“SDM yang berkualitas untuk masa depan yaitu menjadikan setiap anak menjadi bintang. Artinya para guru harus berkualitas, jumlahnya cukup, kesejahteraannya baik. Kenyataannya di angkatan kerja Indonesia kebanyakan tamatan SD atau tidak lulus sekolah. Ada problem pada kualitas SDM,” kata Unifah.
Ia mengatakan, pemerintah harus serius membenahi sekitar 4.500 perguruan tinggi nasional. “Dulu saya berpikir makin banyak lulusan perguruan tinggi, maka akan semakin banyak yang menganggur. Ini masalah kualitas dan lapangan kerja. Mungkin di era ini harus dipikirkan pekerjaan yang berdasarkan kreativitas mereka dan sesuai kebutuhan model bisnis masa depan,” katanya. ***
Tiga bidang studi tersebut diyakini dapat menopang kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menjalani dunia pendidikan, bisnis dan usaha berbasis TIK.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengaku sudah menyiapkan rencana induk pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi hingga 2025. Rencana induk tersebut mengacu kepada instruksi dari Menristekdikti Mohamad Nasir yang menerjemahkan keinginan Presiden Joko Widodo.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden berkali-kali meminta perguruan tinggi untuk mampu menyerap manfaat perkembangan pesat inovasi teknologi.
“Sebenarnya, Kemenristekdikti diminta menyiapkan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Dengan demikian, pada pendidikan tinggi, paling tidak jangan sampai ada program studi yang tidak relevan dengan tantangan masa depan. Tiga bidang studi itu kami susun sebagai awal karena terkait pembangunan infrastruktur. Harus cocok SDM jenis apa yang dibutuhkan dengan kebutuhan prioritas pembangunan,” ujar Ghufron di Kantor Kemenristekdikti Senayan, Jakarta, Senin, 18 Desember 2017.
Ia mencontohkan, pada bidang teknik, Indonesia masih kekurangan insinyur dibandingkan dengan negera lain di ASEAN. Kemenristekdikti meminta sejumlah kampus teknik, seperti Institut Teknologi Bandung untuk kembali membuka prodi tersebut.
Pada bidang kesehatan, Ghufron menyatakan Indonesia juga masih kekurangan jumlah dokter. Untuk jumlah guru yang memenuhi kualifikasi standar nasional, juga masih kurang.
“Saat ini, per satu juta penduduk hanya ada 278 insinyur di Indonesia. Pertumbuhannya masih sangat sedikit. Sarjana teknik yang kaitannya dengan infrastruktur ada 15 bidang ilmu. Prediksi kebutuhan lulusan sarjana teknik diperkirakan sebanyak tak kurang dari 242.000 insinyur dalam tiga tahun ke depan,” katanya.
Untuk profesi guru, pada tahun depan Indonesia akan kekurangan tidak kurang dari 51.000 guru pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan untuk profesi dokter akan sekitar 10.000 orang.
Di lain sisi, Konsulat Kedokteran Indonesia mencatat, sebanyak 2.500 sarjana kedokteran yang sebagian besar lulusan dari fakultas terakreditasi C kesulitan menjadi dokter karena kerap tidak lulus dalam mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).
“Jadi cetak biru ini penting dalam rangka menyambut Indonesia emas 2030,” ujarnya.
Guru harus berkualitas
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, kapasitas dan kompetensi guru menjadi fondasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia masa depan. Menurut dia, bonus demografi 2030-2045 jangan sampai berubah menjadi bencana nasional.“SDM yang berkualitas untuk masa depan yaitu menjadikan setiap anak menjadi bintang. Artinya para guru harus berkualitas, jumlahnya cukup, kesejahteraannya baik. Kenyataannya di angkatan kerja Indonesia kebanyakan tamatan SD atau tidak lulus sekolah. Ada problem pada kualitas SDM,” kata Unifah.
Ia mengatakan, pemerintah harus serius membenahi sekitar 4.500 perguruan tinggi nasional. “Dulu saya berpikir makin banyak lulusan perguruan tinggi, maka akan semakin banyak yang menganggur. Ini masalah kualitas dan lapangan kerja. Mungkin di era ini harus dipikirkan pekerjaan yang berdasarkan kreativitas mereka dan sesuai kebutuhan model bisnis masa depan,” katanya. ***